Pengasuh Pesantren Abah Kyai Ahmad Musthofa warka
Intisari tulisan ini pernah saya sampaikan pada malam pelepasan santri kami di Pondok Pesantren Irhamna Bil Quran Pandeglang, beberapa waktu lalu.
Mereka kami lepas untuk terjun langsung ke masyarakat, setelah dinyatakan hafal 30 juz Alquran.
Kami sangat mengindari istilah perpisahan. Sebab, sejauh manapun para santri melanglang buana, mereka tetap akan kembali ke pesantren tempat mereka pernah bertahun-tahun menimba ilmu. Bukan hanya untuk melepas kangen, namun juga berbagi ilmu dan pengalaman dengan santri yang masih tinggal di pesantren.
Saya awali tulisan ini dengan sebuah cerita yang pernah terjadi di pesantren. Suatu hari, seorang santri menceritakan seluruh beban hidup kepada kiainya. Bukan hanya menumpahkan banyak keluhan, namun santri tersebut juga menumpahkan banyak air mata. Ia seperti sudah tak kuat menahan pahit getir hidup.
Santri terus bercerita, sementara kiai khusuk mendengarkan. Ia membiarkan santirnya menumpahkan semua beban batin, karenanya ia tak memotong cerita. Setelah santri menuntaskan cerita, kiai mengambil sesendok garam, lalu dituangkannya ke gelas berisi air putih.
“Coba, minum ini,” pinta kiai. Baru meminum sedikit, santri langsung meludahkan minuman tersebut. Ia tak kuat menahan rasa air yang sangat asin.
Kiai hanya tersenyum. Dirangkulnya bahu santri, lalu mengajaknya menuju kolam yang sangat bening. Di kolam itu, kiai menumpahkan sesendok garam. Lalu, menyuruh santrinya meminum segelas air dari kolam tersebut.
“Bagaimana rasanya? Apakah masih terasa asin?” tanya kiai. Sambil tersenyum, santri menjawab, “Tidak asin, kiai. Air ini sangat segar.”
Sambil memandang lembut wajah santrinya, kiai berucap, “Dengarkan, anakku! Pahit getirnya kehidupan tak ubahnya seperti sesendok garam. Jumlah garam yang kita tuang di gelas dan kolam tadi sama, tetapi rasanya beda. Kepahitan yang kita rasakan, akan sangat bergantung dari wadah yang kita miliki. Saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu yang bisa kamu lakukan. Yakni, lapangkan dadamu untuk menerima semuanya. Luaskan hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jangan jadikan hatimu sekecil gelas, buatlah laksana kolam bahkan telaga. Ubahlah kepahitan menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Mengubah kepahitan menjadi kesegaran dan kebahagiaan, itulah tugas santri setelah terjun ke masyarakat. Santri bukan hanya memakmurkan majelis taklim atau mimbar khutbah, namun juga memberi jalan keluar bagi setiap permasalahan yang terjadi di lingkungannya.
Oleh sebab itu, janganlah pernah puas dengan ilmu yang didapat di pesantren. Sebab, ilmu itu seperti lautan tak bertepi. Semakin berlayar ke tengah, kita akan merasa semakin jauh untuk sampai ke tepian.
Setiap santri tahu, menuntut ilmu merupakan kewajiban muslim dan muslimah. Ilmu adalah penerang hati bagi pemiliknya, penunjuk jalan bagi ahlinya dan pengendali hawa nafsunya. Ilmu adalah hiasan bagi orang yang mengamalkan ilmunya. Kita bisa belajar kepada siapapun, dari apapun, di manapun, dan kapanpun.
Setiap santri tahu, ilmu akan bertambah bila dibagi dengan orang lain. Itulah antara lain perbedaan ilmu dengan harta benda. Oleh sebab itu, di manapun engkau akan tinggal dan apapun profesi yang akan kau jalani, janganlah lupa untuk mengajarkan ilmu. Sebab, setiap sesuatu itu ada zakatnya. Dan, zakatnya ilmu adalah diajarkan kepada orang lain.
Akan tetapi wajib diingat, mengabdi bagi seorang santri bukan hanya mengajar. Dengan kata lain, mengabdi bukan sekadar mengganti status dari santri menjadi ustaz. Sebab, seperti dimaknai dari serapan kata asalnya, abada-ya’budu-ibadatan, maka mengabdi berarti beribadah atau menyembah (A.W. Munawir, 1997).
Orang yang mengabdi disebut abid atau penyembah. Selain bermakna penyembah, abid juga bisa diartikan sebagai pelayan. Dalam bahasa Inggris ada dua kata yang berkaitan dengan pengabdian; worship dan serve. Worship, mengabdi dalam artian menyembah. Sedangkan serve, mengabdi dalam arti melayani.
Dalam konteks pengabdian santri, maka yang dimaksud adalah melayani. Sebagai pengabdi, santri harus bisa melayani. Melayani siapa? Jika berada di tengah masyarakat, maka kapan saja dan di mana saja santri harus siap melayani masyarakat. Pengabdian adalah memberikan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan. Seorang pengabdi harus selalu siap menerima tantangan.
Lalu, apa tujuan mengabdi? Setiap tujuan seorang muslim adalah mencari ridha Allah Swt. Maka, menancapkan niat lurus dalam pengabdian adalah sama pentingnya dengan pengabdian itu sendiri Mengabdi dengan niat untuk mendapatkan ridha Allah merupakan pilihan cerdas dan logis. Sebab memang, mengabdi bukan sekedar bekerja untuk manusia, tapi juga melaksanakan perintah Allah Swt.
Di manapun berada, santri terikat oleh kewajiban mengabdikan diri dengan spirit keikhlasan dan kebermanfaatan bagi masyarakat dan lingkungan. Itulah yang disebut khairun-nas anfa’uhum lin-nas. Yakni, sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Seperti dikemukakan banyak kiai, ada dua hal yang wajib dilakukan santri. Yakni, beribadah kepada Allah SWT dan mengabdi kepada masyarakat atau yang biasa disebut “hablum minallah wa hablum minannas”.
Jika santri hanya dikuasai semangat belajar namun miskin pengabdian, ia akan tumbuh menjadi figur yang hanya mementingkan diri sendiri. tanpa memikirkan orang lain atau masyarakat.
Dalam pengabdian, santri akan menemui banyak hambatan, rintangan, cibiran, tertawaan, bahkan ejekan. Ketika itu terjadi, maka lapangkan dada untuk menerima semuanya. Luaskan hati untuk menampung setiap kepahitan.